Rabu, 19 Oktober 2011

Stop!...Pencemaran

Pdpersi, Jakarta - Kota Jakarta sangat sibuk dan padat penduduk. Aktivitas penduduk tidak pernah berhenti selama 24 jam. Jumlah penduduk juga sangat padat yakni 10 juta jiwa pada malam hari dan 11 juta pada siang hari. Pertambahan penduduk pada siang hari karena warga dari daerah-daerah penyangga-seperti Depok, Bogor, Tangerang, Bekasi bekerja di Ibukota Negara. Itu berarti kepadatan penduduk di wilayah yang luasnya sekitar 650 km2 rata-rata 11.244 jiwa per km2. Konsekuensi kepadatan juga membawa implikasi sebagai penghasil sampah yang cukup besar. Setiap hari Kota Jakarta memproduksi sampah 27.966 m3 atau setara dengan 6.000 ton setiap hari, berarti satu orang penduduk menghasilkan 2,97 liter sampah per hari.

Memang, sampah di Jakarta dari dulu hingga sekarang tetap menyisakan masalah yang cukup pelik, tak kunjung selesai. Sebab, lebih dari 80 persen sampah langsung di buang ke 13 aliran sungai di Jakarta dan akhirnya sampah itu bermuara di perairan Teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu. Tidak lahi hanya ke 13 sungai di Jakarta yang tingkat pencemarannya sudah diambang batas yang mengkhawatirkan terhadap kesehatan, tetapi juga warga di kedua teluk terkena imbas rawan bahaya penyakit. Rata-rata 14.000 ton setiap hari sampah bermuara di teluk Jakarta dan Kepulauan Seribu.


Pembuangan sampah jauh dari tertib, masih banyak masyarakat membuang sampah sembarangan. Apalagi saat hujan warga seakan berlomba membuang sampah ke sungai. Warga seakan merasa tanpa bersalah membuang sampah di sungai. Intinya, penanganan sampah terpadu masih sebatas retorika. Selain pencemaran karena sampah, kondisi sungai semakin diperburuk lagi karena dijadikan pula sebagai tempat pembuangna minyak-minyak bekas/oli dari perusahaan-perusahaan pengeboran minyak lepas pantai serta dari kapal-kapal tanker yang berada di kedua kawasan tersebut.


Stop Pencemaran

Bupati Kabupaten Kepulauan Seribu, Djoko Ramadhan, berharap agar kedua kawasan yang tercemar sebagai limpahan sampah warga Jakarta dan limbah perusahaan dapat diselamatkan. “Tingkat pencemeran itu sudah sangat berbahaya dan kalau tidak diatasi dengan cepat akan membuat warga disekitar menghadapi dan mengalami gangguan kesehatan,” kata Djoko seakan mengeluh.

Dia mengatakan pencemaran itu juga sekaligus mencemari potensi pengembangan pariwisata di Kepulauan Seribu. Dampaknya sudah mulai dirasakan oleh masyarakat khususnya di kedua wilayah perairan tersebut. Mata pencaharian warga yang selama ini tergantung pada hasil laut, mangrove dan terumbu sudah mengeluh.

Sebab, ikan dan spesies-spesies laut lainnya di Kepulauan Seribu banyak yang mati, akibat pencemaran sungai. Produksi ikan tangkapan nelayan terus menurun dan puncaknya tahun 2002, turun hingga 38 persen.”Pencemaran harus diatasi, agar warga tidak terjerembab kepada hal-hal yang semakin buruk,”katanya. Langkah pencemaran sudah waktunya dihentikan dan diganti dengan gerakan lingkungan bersih pencemaran.


Sementara itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa pakar kelautan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) bahwa pencemaran di kedua kawasan perairan tersebut didominasi polusi antara lain berupa silikat yang mencapai 52.156 ton, fosfat mencapai 6.741 ton, dan nitrogen mencapai 21.260 ton. Tinggi tingkat pencemaran juga telah mengakibatkan terjadinya pengurangan kawasan mangrove dan terumbu karang di kedua perairan tersebut. Untuk wilayah perairan dengan jarak kurang dari 15 kilometer dari pantai, seperti terumbu karang yang saat ini hanya tersisa kurang dari 5 persen. Sedangkan untuk jarak 15-20 kilometer dari pantai hanya tinggal 5-10 persen, dan pada jarak 20 kilometer hanya tinggal sekitar 20-30 persen.

Berdasarkan data dari Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Hidup (Bapedal), tingkat pencemaran di teluk Jakarta hingga Kepulauan Seribu saat ini dalam kondisi sangat kronis. Setidaknya 83 persen dari 13 daerah anak sungai dan sembilan kawasan muara sungai kini masuk dalam kategori tercemar berat. Saat ini, kedua kawasan perairan ini sudah ditetapkan ke dalam status eutrofik atau dapat meledak sewaktu-waktu. Dampak dari ledakan ini antara lain adalah munculnya berbagai macam penyakit, kematian masal biota laut, serta berbagai hal yang dapat mengancam dan berimbas langsung kepada masyarakat seperti banjir.
 
Menurut catatan bahwa dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini jika kedua kawasan tersebut tidak cepat-cepat ditangani, maka akan berdampak buruk bagi masyarakat Jakarta khususnya masyarakat di sekitar kedua kawasan tersebut. Karena kedua kawasan tersebut memikul bebab polusi akibat banyaknya sampah dan limbah yang 90 persennya berasal dari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi. Masalah sampah memang menjadi semacam “gunung es” yang sewaktu-waktu dapat meleleh.

Tapi jika kita semua berbuat dansadar agara selalu membuang sampah pada tempatnya, yang diprediksi tidak akan terjadi. Tetapi jika kesadaran tidak muncul-muncul dan selalu membuang sampah di sembarang tempat termasuk ke sungai-sungai, kita hanya tinggal menunggu waktu datang marabahaya itu.

Untuk itu kita perlu menyikapi masalah pencemaran yang dihasilkan oleh sampah dengan melakukan gerakan penyelamatan sebelum lingkungan bertambah hancur, sebagai akibat kelakuan buruk kita yang selalu membuang sampah sembarangan. Gerakan bersih lingkungan yang selama ini sudah dirancang segera terealisasikan agar kondisi Jakarta kembali bersih seperti semula khususnya di kedua wilayah perairan tersebut. Gerakan lingkungan diharapkan jangan hanya sebuah “slogan tanpa aksi”.
(berbagai sumber)


Sumber : http://www.pdpersi.co.id

1 komentar:

  1. maaf ya teman, mau kasih masukan nih kita kan anak gundar,kita jg udah masuk ke pembelajaran mata kuliah softskill ayo dong blognya disisipin
    link Universitas Gunadarma misalnya kaya gini nih
    * www.gunadarma.ac.id
    * www.studentsite.gunadarma.ac.id
    * www.baak.gunadarma.ac.id
    * dll.
    ini buat kriteria penilaian mata kuliah softskill temen2 :D

    BalasHapus